BUILDING
CHARACTER SEBAGAI UPAYA MEMPERBAIKI MORAL BANGSA DALAM MENEKAN TUMBUH BEBASNYA
KORUPSI
Makalah
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas kelompok
mata kuliah Pengantar Pendidikan
disemester 1
ini.
dosen. Drs. H. Nasir, M.Pd.
dosen. Drs. H. Nasir, M.Pd.
Disusun oleh ;
Tiana
jeanita
Yulia prastiani
Selly dwita
lintang
Zakiyyah Adzkiya
Sukerih
Taniroh
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS WIRALODRA
INDRAMAYU
2011
Kata pengantar
Pertama-tama
marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadiat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dengan lancar dan tanpa kendala yang begitu berarti.
Sholawat
serta salam tak lupa terlimpah curakan kepada kepada Nabi Muhammad SAW, serta
Keluarga dan Sahabatnya. Dan tak lupa pula kami sampaikan rasa terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada Dosen pengajar mata kuliah Pengantar Pendidikan yakni
Bapak H. Nasir, M.Pd dan rekan-rekan mahasiswa FKIP. Matematika semester I yang
sangat berperan penting dalam upaya pembuatan makalah ini.
Makalah yang bertemakan “BUILDING CHARACTER SEBAGAI UPAYA MEMPERBAIKI MORAL
BANGSA DALAM MENEKAN TUMBUH BEBASNYA KORUPSI” ini, kami buat untuk
memenuhi tugas wajib
setiap kelompok sebagai penunjang nilai mata kuliah Pengantar Pendidikan. Penyajian
makalah ini terdiri dari pembahasan-pembahasan mengenai pengertian building
character, ruang lingkup building character, Konsep penerapan building
character dalam pendidikan, dan
kontribusi “building character sebagai upaya untuk menekan
tumbuh bebasnya korupsi” .
Kami
selaku penyusun menyadari bahwa “tak ada gading yang tak retak” oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan, guna dapat
memperbaiki dan meningkat kualitas pembuatan makalah dimasa yang akan datang.
Akhir kata “ semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan bagi perkembangan dunia pendidikan. Amin-amin yaa rabb al-alaminn”.
Indramayu, November 2011
Penyusun
|
Daftar isi
Kata
pengantar ---------------------------------------------------------- i
Daftar
isi ----------------------------------------------------------------- iii
Bab
I : pendahuluan ----------------------------------------------------- 1
A. Latar
belakang masalah---------------------------------------
1
B. Rumusan
masalah----------------------------------------------
2
C. Tujuan-----------------------------------------------------------
3
D. Manfaat----------------------------------------------------------
3
Bab
II : pembahasan-----------------------------------------------------
4
A. Pengertian
building character -------------------------------- 4
B. Ruang
lingkup building character-----------------------------
5
C. Konsep
penerapan building character dalam
Pendidikan-------------------------------------------------------
11
D. Building
character sebagai upaya untuk menekan
tumbuh bebasnya korupsi------------------------------------- 17
tumbuh bebasnya korupsi------------------------------------- 17
Bab
III : penutup---------------------------------------------------------
24
A. Simpulan--------------------------------------------------------
24
B.
Saran------------------------------------------------------------
24
Daftar
pustaka ----------------------------------------------------------- 25
BAB 1
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
MASALAH
Membicarakan tentang character building (pendidikan karakter) kedengarannya cukup klise dan
nyaris tanpa makna. Ungkapan ini sering kali diucapkan oleh para politisi,
praktisi pendidikan, pemimpin organisasi. Akan tetapi, selama ini ungkapan
tersebut sepertinya belum meninggalkan apa-apa bagi pembangunan bangsa pada umumnya.
Bahkan, ungkapan character building sudah lama tidak terdengar dan
semakin pudar gaungnya.
Dalam konteks yang luas,
masalah character building masih merupakan suatu isu besar. Semua
masalah di negeri ini; korupsi, lemahnya penegakan hukum dan HAM, konflik agama
dan suku, disintegrasi bangsa, kekerasan dan terorisme, kemiskinan dan
pengangguran, kasus kejahatan dan masih banyak lagi adalah lahir dari tidak
adanya watak yang jelas dan kokoh dalam diri kita.
Kita lihat saja, akhir-akhir
permasalahan yang menimpa bangsa kita begitu kompleks dan datang bertubi-tubi.
Mulai dari kasus Century, kasus Nazaruddin dan Gayus Tambunan, tawuran
antarpelajar dan antarkampung di Jakarta dan sederetan masalah pelik lainnya,
yang beberapa di antaranya tidak bisa tuntas sampai hari ini. Hal ini
menggambarkan betapa rapuh dan lemahnya karakter bangsa ini.
Bertitik tolak dari kenyataan
di atas, maka menurut kami sudah saatnya pendidikan character
building secara komprehensif kita galakkan kembali. Sebab pendidikan character building
adalah upaya yang sangat signifikan untuk saat ini guna memperbaiki kondisi bangsa yang kian carut-marut
ini. Dan character building yang dimaksud di sini tidak sekedar seperti
apa yang diajarkan di sekolah maupun kampus saja, tapi meliputi berbagai aspek
kehidupan dan berbagai elemen masyarakat yang ada.
Oleh karena itu kami mengankat judul “ BUILDING
CHARACTER SEBAGAI UPAYA MEMPERBAIKI MORAL BANGSA DALAM MENEKAN TUMBUH BEBASNYA
KORUPSI “.
B.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apakah pengertian building character?
B.
Bagaimanakah ruang lingkup dari building
character?
C.
Bagaimana Konsep penerapan building
character dalam pendidikan?
D. Bagaimanakah
kontribusi “building character sebagai upaya untuk menekan tumbuh bebasnya korupsi”?
C.
TUJUAN
a.
Untuk memenuhi tugas wajib setiap
kelompoK sebagai penunjang nilai
mata kuliah pengantar pendidikan di semester 1 ini.
b.
Untuk
menginformasikan kepada pembaca mengenai building character sebagai upaya memperbaiki moral bangsa dalam menekan
tumbuh bebasnya korupsi
D.
MANFAAT
a.
Dapat menuhi tugas wajib setiap
kelompok sebagai penunjang nilai mata kuliah pengantar pendidikan.
b.
Dapat
menginformasikan kepada pembaca mengenai building character sebagai upaya memperbaiki moral bangsa dalam menekan
tumbuh bebasnya korupsi.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian building characther
Secara etimologis, karakter (character) berarti
mengukir dan sifat-sifat kebajikan. Menurut Wynne character berasal dari bahasa
Yunani yaitu “to mark” yang berarti menandai.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia sendiri
character diartikan sebagai sifat-sifat kejiwaan, tabiat, watak, perangai,
akhlak, sikap atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lainnya.
Secara terminologi, character berarti pribadi
jiwa yang menyatakan dirinya dalam segala tindakan dan pernyataan dalam
hubungannya dengan bakat pendidikan, pengalaman dan alam sekitar.
Dengan demikian, dari
definisi character di atas dapat kita simpulkan bersama bahwa membangun
character (character building) adalah suatu proses mengukir, memahat, atau
membentuk jiwa sedemikian rupa sehingga berbentuk unik, menarik dan berbeda
satu sama lainnya.
B. RUANG
LINGKUP BUILDING CHARACTHER
a. Sikap
Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri,orang lain, obyek atau isue. Sikap merupakan suatu pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai sikap objek tadi.
Ø Tingkatan Sikap
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yakni ;
1) Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau
dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).
2) Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya,
mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap
karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang
diberikan. Lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang itu
menerima ide tersebut.
3)
Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi
sikap tingkat tiga, misalnya seorang mengajak ibu yang lain (tetangga,
saudaranya, dsb) untuk menimbang anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang
gizi adalah suatu bukti bahwa si ibu telah mempunyai sikap positif terhadap
gizi anak.
4) Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
telah dipilihnya dengan segala resiko adalah mempunyai sikap yang paling
tinggi. Misalnya seorang ibu mau menjadi akseptor KB, meskipun mendapatkan
tantangan dari mertua atau orang tuanya sendiri.
Ø Sifat Sikap
1)
Sikap
positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek
tertentu.
2)
Sikap
negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak
menyukai obyek tertentu.
Ø Cara Pengukuran Sikap
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara
langsung atau tidak langsung. Secara
langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat pernyataan responden terhadap
suatu obyek. Secara tidak langsung
dapat dilakukan dengan pernyataan – pernyataan hipotesis kemudian
ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner
Ø Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap
Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap
keluarga terhadap obyek sikap antara lain :
1. Pengalaman Pribadi
Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap,
pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap
akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam
situasi yang melibatkan faktor emosional.
2.
Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Pada umumnya, individu cenderung untuk
memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap
penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk
berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap
penting tersebut.
3. Pengaruh Kebudayaan
Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan
garis pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai
sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman
individu-individu masyarakat asuhannya.
4. Media Massa
Dalam pemberitaan surat kabar mauoun radio
atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara
obyekstif cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh
terhadap sikap konsumennya.
5. Lembaga Pendidikan
dan Lembaga Agama
Konsep moral dan ajaran dari lembaga
pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan tidaklah
mengherankan jika kalau pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap.
6. Faktor Emosional
Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan
pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran
frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.
b.
MORAL
Kata Moral berasal dari kata latin “mos” yang berarti kebiasaan. Moral berasal dari Bahasa Latin yaitu Moralitas
adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya
dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral
disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di
mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh
manusia.
Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang
berhubungan dengan proses sosialisasi individu
tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang
mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap
amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral merupakan sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai
moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan
dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari
kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan
seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang
itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat
diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai
mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari
budaya dan Agama. Moral
juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan
seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran,
suara hati, serta nasihat, dll.
Menurut Immanuel
Kant, moralitas adalah hal kenyakinan dan sikap batin dan bukan hal sekedar
penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara, agama atau
adat-istiadat. Selanjutnya dikatakan bahwa, kriteria mutu moral seseorang
adalah hal kesetiaannya pada hatinya sendiri. Moralitas
adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedangkan hukum itu
sendiri tertulis dalam hati manusia. Dengan kata lain, moralitas adalah tekad
untuk mengikuti apa yang dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak.
c.
keimanan dan ketaqwa`an
keimanan dapat diartikan sebagai suatu
kepercayaan. Sdangkan taqwa Secara harfiah, takwa diartikan sebagai hati-hati, ingat, mawas diri dan
waspada. Bisa juga diartikan sebagai rasa takut.
Menurut nurcholis majid
Takwa dapat diartikan dengan sikap menjaga diri dari perbuatan jahat, sikap
patuh pada kewajiban dan menjauhkan diri dari larangan Allah
Ø
Ayat yang menjelaskan tentang takwa adalah :
Al-A’raaf ayat 96 :
Artinya : “jika sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan takwa, pasti kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami),
maka kami siksa mereka disebabkan karena perbuatannya”.
Masyarakat Indonesia adalah
masyarakat yang beragama. Oleh karena itu, setiap warga negara seharusnya
memiliki keimanan dan ketaqwaaan yang kuat dan mau menjalankan
perintah agamanya masing-masing secara baik dan konsisten. Orang yang beriman dan bertaqwa akan selalu takut kepada Tuhan dan berusaha
untuk berbuat baik kepada sesama. Ia tidak akan mau melakukan
perbuatan-perbuatan yang membuat murka Tuhan maupun yang merugikan orang lain.
Peranan agama dalam pendidikan karakter sangatlah besar. Beragama secara baik akan
membuahkan perilaku yang baik pula. Keimanan dan ketaqwaan akan dijadikan dasar dalam setiap langkah dan perbuatan. Penerapan
nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari akan membentuk karakter individu dalam berbagai aspek. Inilah dasar pokok yang
harus dimiliki oleh setiap orang di negeri ini.
Jika setiap orang telah
memiliki keiman, ketaqwaan yang kuat dan pengamalan ajaran agama secara
baik, ia tidak mungkin akan melakukan perbuatan-perbuatan seperti menyakiti
orang lain, menyebar isu, memprovokasi dan memfitnah, ikut ajaran sesat,
korupsi dan mencuri, malas bekerja, tidak toleran, berbuat jahat dan lain
sebagainya.
C. konsep penerapan building charachter dalam pendidikan
perumusan UU Sisdiknas tahun 2003 pun menekankan
moralitas sebagai aspek utama dan paling penting di dalam pembangunan
pendidikan nasional. Dalam UU Sisdiknas Bab I Pasal 1 pendidikan didefinisikan
sebagai “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.”
Menurut sumber yang kami temukan dalam http://edukasi.kompasiana.com/2011/11/13/character-building-modal-dasar-nation-building/ pendidikan character
building dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu:
1. Personal Character Building
Pembangunan karakter bersifat
individu, yaitu upaya penerapan
berbagai
nilai dan perilaku yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang dan menjadi ciri
khas kepribadiannya.
2. Community Character
Building
Kita hidup dalam masyarakat
(komunitas) yang heterogen. Berbeda agama, suku bangsa, bahasa, adat-istiadat,
budaya, pendidikan, sejarah dan sebagainya. Agar kehidupan bisa berjalan dengan
baik dan rukun, maka setiap kelompok atau golongan harus memiliki karakter seperti saling menghormati dan menghargai, sikap
toleransi, Saling Bekerjasama dan Tolong-Menolong.
3. Nation Character Building
Setelah setiap orang memiliki
karakter individu seperti telah diuraikan di atas, demikian halnya setiap
kelompok yang ada dalam masyarakat juga telah menunjukkan karakter
komunitasnya, maka tidaklah sulit untuk mewujudkan pendidikan karakter bangsa (nation
character building). Maka selanjutnya, secara nasional, karakter yang harus
dibangun adalah seperti
membangun jiwa persatuan dan kesatuan, merasa senasib dan sepenanggungan.
Setelah
mengetahui tahap pemberdayaan pendidikan building character kini kita membahas
tentang konsep penerapan dalam pembelajaran.
Konsep
pembelajaran dalam pendidikan karakter cukup dilakukan dengan tiga langkah,
yaitu:
(1)
membekali siswa dengan alat dan media untuk memiliki pengetahuan,
kemauan dan keterampilan;
(2)
membekali siswa denagn pemahaman tentang berbagai kompetensi
tentang nilai , bersikap dan moral;
(3)
membiasakan siswa untuk selalu melakukan keterampilan-keterampilan
berperilaku baik.
Setelah panjang menjelaskan
tentang tahap pemberdayaan pendidikan building character dan konsep penerapan
dalam pembelajaran, marilah kita menyempurnakan pendidikan building character
dengan strategi – strategi manajemen pembelajaran building character.
Strategi
Manajemen Pembelajaran Pendidikan Karakter meliputi 3 langkah yaitu sebagai
berikut :
ü Langkah ke-1, dimaksudkan agar siswa
memahami secara benar dan menyeluruh tentang potensi diri dan peluang yang ada
di lingkungan sekitarnya. Potensi diri difokuskan kepada nilai dan moral yang
dapat didayagunakan untuk belajar, berhubungan dan berusaha. Sedangkan peluang
yang ada di lingkungan dijadikan sumber motivasi agar siswa mau melibatkan diri
secara aktif dalam proses pembelajaran atau merekayasa sendiri proses
pembelajaran yang dibutuhkannya. Potensi diri dan peluang yang ada di
lingkungan sekitar meliputi segenap nilai dan moral yang ada dan diperkirakan
dapat dicapai dan didayagunakan untuk pembelajaran dan penerapan hasil
pembelajaran yang diikutinya. Berdasarkan pemahaman ini, peserta didik
difasilitasi untuk memiliki dan mengembangkan kerangka atau pola pikir yang
komprehensif tentang pendayagunaan dan pengembangan potensi diri dan peluang
yang ada di lingkungan sekitarnya bagi perilakunya kesehariannya. Dalam tahapan ini tujuan
pembelajaran di arahkan pada kompetensi dalam membedakan nilai-nilai ahlaq
mulia dan ahlaq tercela, memahami secara logis tentang TABI’AT REFLEKTIF (Tahu, Mau dan Terampil
Berbuat Kebaikan) dan moral yang baik serta Mampu mecari peluang untuk melakukan
dan mengamalkan perilaku yang baik pentingnya ahlaq mulia dan bahayanya ahlaq tercela dalam
kehidupan, mengenal sosok manusia
yang berahlaq mulia untuk diteladai dalam kehidupan. Kegiatan utama guru pada tahap
ini adalah: (1) merancang proses pembelajaran yang diarahkan pada pemahaman tentang
klarifikasi nilai (value clarification), dan (2) membekalinya berbagai
alat (instrument) dan media yang dapat digunakan secara mandiri baik
secara individual ataupun kelompok.
ü Langkah ke-2, diarahkan pada kepemilikan
kepekaan kemampuan dalam mendayagunakan dan mengembangkan potensi diri dan
peluang yang ada di lingkungan sekitarnya. Kompetensi dalam arti nilai-nilai
dan moral yang dituntut untuk dimiliki oleh para siswa yang sesuai dengan
kondisi dan peluang yang dihadapinya. Berbagai kompetensi itu perlu dikaji dan
diapresiasi oleh para siswa sampai mereka memiliki cukup pilihan dalam
menetapkan keputusan kompetensi mana yang paling dibutuhkan sesuai kondisi
potensi dan peluang yang sedang dihadapinya. Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta
dan rasa butuh terhadap nilai-nilai ahlaq mulia. Sasarannya ialah dimensi-dimensi
emosional siswa yaitu qolbu dan jiwa, sehingga tumbuh kesadaran, keinginan, kebutuhan dan
kemauan untuk memiliki dan mempraktekan nilai-nilai ahlaq tersebut. Melalui
tahap ini pun siswa diharapkan mampu menilai dirinya sendiri (muhasabah), semakin
tahu kekurangan-kekurangannya. Proses pembelajaran yang perlu dikembangkan oleh guru ialah belajar menemukan (learning
discovery) sehingga nilai-nilai dan moral yang dipelajari itu dapat dihayati. Proses penemuan dan penghayatan
itu akan membentuk kedalaman
apresiasi, sehingga nilai-nilai dan moral yang dimilikinya itu benar-benar dibutuhkan
dalam kehidupannya.
ü Langkah ke-3, merupakan muara penerapan
kompetensi-kompetensi yang telah dimiliki para siswa melalui proses
pembelajaran pada tahapan sebelumnya. Arah pembelajaran pada tahap ini adalah
pendampingan kemandirian siswa agar memiliki kesempatan untuk menerapkan
nilai-nilai dan moral dalam perilaku keseharian sampai berbentuk tabi’at
reflektif pribadi. Ruang lingkup nilai dan moral yang perlu dikuasai murid pada
tahap ini erat kaitannya dengan instrumen pendukung dalam berperilaku bagi para
siswa. Pendampingan terutama diarahkan untuk menguatkan kemampuan mereka tentang
nilai dan moral dalam berperilaku sehingga berdampak positif terhadap sikap dan
kemandiriannya di lingkungan hidup dan kehidupannya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tanggungjawab dalam
membentuk karakter bangsa, memiliki tugas dalam menyiapkan potensi diri dan
peluang lingkungan agar siswa memiliki pengetahuan yang luas, memiliki kedalaman
apresiasi, dan terampil dalam membiasakan perilaku-perilaku yang sesuai dengan
nilai-nilai, moral dan ahlaq yang dianut masyarakat dan bangsanya yang beradab.
Pembangunan pendidikan yang
sedang kita lakukan seharusnya menyentuh paradigma sistem pendidikan yang
universal. Pembangunan pendidikan yang tidak berbasis pendidikan karakter telah
terbukti hanya menghasilkan SDM yang bersifat mekanis dan kurang kreatif. Oleh karena
itu, tidak ada pilihan lain
untuk secepatnya mempersiapkan generasi yang sesuai
dengan peradaban yang diinginkan, yaitu generasi yang serba siap dalam
menghadapi segala tantangan kehidupan di masa depan. Generasi yang serba siap tersebut,
harus diupayakan secara sistematis, terutama dalam membentuk tabi’at
reflektif yang bercirikan:
(1)
Besarnya rasa memiliki warga negara (termasuk kelembagaannya) terhadap
nilai-nilai, moral dan ahlaq yang dianut masyarakat dan bangsa yang beradab;
(2)
Kepercayaan diri warga negara terhadap potensi diri, sumber daya
dan kemampuan untuk menerapkan nilai-nilai, moral dan ahlaq dalam membangun
pribadi, masyarakat, bangsa dan negaranya
(3)
Besarnya kemandirian atau keswadayaan warga negara baik sebagai penggagas,
pelaksana maupun pemanfaat dari hasil-hasil dalam menerapkan nilai-nilai, moral
dan ahlaknya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Melalui pola-pola
manajemen pembelajaran yang dirancang secara komprehensif dan sistematis di lingkungan
sekolah diharapkan dapat menghasilkan generasi-generasi yang memiliki ketangguhan
dalam keilmuan, keimanan, dan perilaku shaleh, baik secara pribadi maupun sosial.
Insan-insan yang shaleh ini sangat diperlukan untuk menjadi ‘kader-kader tenaga
pembangunan’ yang siap ‘berjihad’ membangun kembali masyarakat dan bangsanya
agar bangkit dari keterpurukan.
D. building character sebagai upaya untuk menekan tumbuh bebasnya korupsi
Dewasa ini karakter bangsa kita dipandang sebelah mata
oleh negara lain, bahkan banyak orang-orang Indonesia tidak mau mengakui bahwa
dirinya berasal dari Indonesia, mereka malu menjadi orang Indonesia. Hal ini
mereka akui karena banyaknya kasus yang terjadi di Indonesia. Mereka takut
negara lain memandang mereka berasal dari negara teroris, atau negara para
koruptor, negara yang memiliki segalanya tetapi tidak mampu mengolah sumber
daya alamnya, negara bodoh, negara penonton, negara majemuk yang masyarakatnya
sering ricuh antar etnis, mementingkan diri sendiri dan sukunya tanpa
mempedulikan orang lain, kasus korupsi, kolusi dan nepotisme, atau negara yang
tidak memiliki kualitas dalam bidang apapun. Kondisi ini dapat terbilang sangat
memprihatinkan.
“Education is the most powerful weapon that you can
use to change the world.” Pendidikan,
bagi seorang Nelson Mandela, adalah senjata yang sangat ampuh untuk dapat
mengubah dunia. Kalimat ‘sakti’ pejuang antidiskriminasi ini ternyata
tidak hanya diamini oleh kaum sebangsanya, namun juga bangsa-bangsa lain di
dunia. Pendidikan adalah ujung tombak perubahan sebuah bangsa, bahkan
dunia.
Indonesia, dengan kasus korupsi yang merajalela, juga
tengah menempatkan pendidikan sebagai solusi permasalahan bangsa. Pendidikan,
utamanya pendidikan karakter, dihadirkan atas dasar kegalauan melihat realitas
kehidupan yang terindikasi mengalami degradasi moral, termasuk mental korup
yang membudaya di masyarakat. Perang melawan korupsi melalui pendidikan
memang bukan satu-satunya cara pencegahan korupsi di Indonesia. Namun
kesadaran kolektif masyarakat disadari perlu ditumbuhkan sejak dini.
Mulai Juni 2011, Kementerian Pendidikan Nasional
(Kemendiknas) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerapkan Pendidikan
Karakt Antikorupsi dalam kurikulum prasekolah, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK, dan
perguruan tinggi. ’Perang’ wacana pun terjadi di kalangan praktisi
pendidikan. Nilai-nilai agama, moral, dan karakter antikorupsi hanya
menjadi sebuah transformasi konseptual yang tidak membumi. Pendidikan
karakter pun nantinya akan bernasib sama dengan pengajaran nilai moral dan
agama yang selama ini hanya berkutat pada teori dan hadir dalam simbol
jasmaniah yang jauh dari pengamalan nyata.
Oleh karena itu Adagium “power tends to corrupt and
power absulutely tends to corrupt absolutely” yang dilontarkan Lord Acton
sepertinya hampir menjadi satu-satunya postulat yang dijadikan dasar untuk
menyelesaikan kasus-kasus korupsi di negeri ini. Semuanya hanya mengacu kepada
masalah-masalah legal formal dan kontrol kekuasaan. Korupsi dianggap akan
selesai kalau ada dekonsentrasi kekuasaan. Korupsi akan beres kalau ada lembaga
pengawas korupsi, dan solusi-solusi lain yang selalu hanya dikaitkan dengan
masalah pembenahan struktural dan pembatasan kekuasaan.
Dalam kasus Indonesia bisa kita lihat bagaimana
korupsi ditangani. Isu korupsi yang sudah digelindingkan sejak zaman Suharto
mendapat momentum ketika Reformasi berhasil mendongkel Orde Baru yang sudah
menancapkan kuku kekuasaannya selama 32 tahun. Masalah korupsi berhasil
diangkat menjadi wacana utama, bahkan sampai hari ini. Istilah KKN (korupsi,
kolusi, dan nepotisme) sangat populer pada awal masa Reformasi. Selama Orde
Baru, masalah ini sulit sekali tersentuh. Kalaupun ada yang memperkarakan pasti
akan segera dijebloskan ke penjara dengan dalih “subversi.”
Usaha-usaha pembuatan peraturan dan pembetukan banyak
lembaga untuk mengawasi berbagai penyelewengan dan tindak korupsi semakin
kemari semakin banyak. Usaha-usaha lain yang bersifat pendekatan struktural—dan
sangat materialistik—sudah dilakukan. Namun kelihatannya, alih-alih korupsi
semakin hilang, justru prestasi korupsi Indonesia justru malah meroket menembus
angka tertinggi di Asia sepanjang sejarahnya.
Korupsi kini sudah bukan monopoli para petinggi di
Jakarta atau di pusat-pusat kekuasaan. Korupsi bahkan sudah menular sampai ke
level terendah kekuasaan di RT dan RW. Hanya barangkali jumlah yang mereka
korupsi bertingkat tergantung seberapa banyak mereka berwenang menangani
anggaran.
Para peneliti mutakhir sebenarnya telah banyak
menemukan penyebab utama merebaknya korupsi di negeri ini, terutama yang dilakukan
antropolog dan sosiolog. Semua hampir merujuk sepenuhnya pada mentalitas
para pelakunya. Sebab yang berkaitan dengan sistem yang lemah tidak selalu
menjadi penyebab utama terjadinya korupsi. Kelemahan sistem hanya menyumbang
sebab yang tidak signifikan. Sebab-sebab signifikan adalah pada pribadi orang
perorang yang menjadi lingkaran setan perilaku korupsi.
Prof. Adi Sulistyono (sosiolog UNS) menyebutkan
sekurang-kurangnya ada dua belas sebab mengapa korupsi begitu merajalela di
negeri ini. Sebab-sebab itu antara lain:
1. masyarakat mempunyai mental
suka menerabas;
2. masyarakat tidak menganggap korupsi sebagai ‘aib’. Rendahnya
budaya malu;
3. nilai ewuh pakewuh melekat pada masyarakat indonesia;
4. kontrol sosial masyarakat terhadap perilaku korupsi masih longgar;
5. nilai kejujuran kurang mendapat penghargaan tinggi dimasyarakat;
6. kurangnya keteladanan dari pimpinan;
7. masyarakat mengukur status sosial dari ‘kekayaan’ (uang dan kekuasaan);
8. belum ada kesadaran bersama bahwa korupsi membuat hancurnya sebuah
negara, penyebab kemiskinan, menimbulkan banyak pengangguran, meningkatnya
hutang;
9. aparat penegak hukum
(polisi, jaksa, hakim) tidak memberi skala prioritas utama pada
pemberantasan korupsi;
10. diskriminasi hukum yang dilakukan kejaksaan;
11. lemahnya komitmen mahkamah agung;
12. komitmen presiden dan wakil presiden dalam memberantas korupsi
tidak kuat dan kurang konsisten.
Semua sebab di atas kembali kepada mentalitas dan
sikap hidup, baik dari masyarakat maupun dari pemimpin. Sama sekali tidak
terlihat peran sistem sebagai sebab utama tumbuh suburnya korupsi, sekalipun
sistem sedikit banyak ada juga memberikan kontribusi. Sebab, pada kenyataannya
sistem dan aturan dibuat pula oleh orang-orang yang terlibat dalam korupsi ini.
Mereka bisa saja secara sengaja membuat sistem sedemikian rupa agar leluasa
untuk melakukan tindak kecurangan. Jelas ini kembali kepada mentalitas dan sikap
individu.
Mentalitas masyarakat sesungguhnya adalah salah satu
kompleks kesepakatan sikap antar-individu dalam suatu sistem. Kesepakatan ini
bermula dari kontrol moral yang lemah dari masing-masing individu sehingga
cenderung dapat membenarkan penyelewengan sebagai sesuatu yang biasa. Semua ini
bermula dari sikap individu yang lemah secara moral dan tidak memiliki komitmen
tinggi terhadap akhlak yang harus dipelihara di dalam dirinya.
Seandainya kontrol moral individu kuat dan konsisten,
paling tidak yang bersangkutan berusaha untuk menghindar dari perilaku korup
yang ditawarkan komunitas sekitarnya.
Oleh karena itu Bukan suatu hal yang salah
jika pemerintah menetapkan lembaga pendidikan sebagai ’bengkel’ perbaikan
moralitas bangsa. Lembaga pendidikan adalah pilihan tepat sebagai garda
terdepan pembentukan karakter bangsa. Namun menempatkan Pendidikan
Karakter Antikorupsi sebagai mata pelajaran tersendiri adalah keputusan yang
tidak bijak. Pendidikan karakter harus terintegrasi dengan kurikulum yang
sudah ada agar tidak menambah beban belajar siswa.
Dalam aplikasinya, tidak perlu ada materi
khusus pembelajaran antikorupsi dalam kurikulum di sekolah dan perguruan
tinggi. Pendidikan Karakter Antikorupsi dapat diberikan sebagai kegiatan
ekstrakurikuler (seperti pramuka, klub debat, atau gerakan mahasiswa
antikorupsi) dan melalui penanaman nilai-nilai pembelajaran atas antikorupsi
secara terintegrasi dalam mata pelajaran yang sudah ada. Siswa diharapkan
tidak akan terjebak dalam ’rutinitas’ pencapaian nilai A dalam mata pelajaran
pendidikan karakter. Pendidikan Karakter Antikorupsi lebih menekankan
upaya pembentukan character building dan moral antikorupsi dibanding
transmisi pengetahuan dan seluk beluk teori antikorupsi kepada peserta didik. Karenanya, pendidikan
moral di sekolah tidak diajarkan sebagai mata pelajaran khusus, tetapi
diintegrasikan dalam semua mata pelajaran.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
masalah character building masih merupakan suatu isu besar. Diantara Semua masalah di negeri ini yaitu; korupsi. Korupsi merupakan salah satu masalah bangsa Indonesia Yang
sampai sekarang hampir belum mampu terselesaikan oleh opsi penegak hukum
manapun atau bahkan lembaga seperti apapun.
Penyebab korupsi
adalah mentalitas dan kelemahan secara moral para individunya. Dan konsep
penerapan building character dalam pendidikanlah yang memiliki peran penting
guna memperbaki moralitas generasi muda dalam rangka perbaikan moral bangsa dan
menekan tumbuh bebasnya korupsi dinegara Indonesia ini.
B.
Saran
Penanaman building character sejak dini
pada generasi muda dalam rangka pembentukan tabi`at reflektif secara lebih baik,
agar dapat mengarahkan generasi muda untuk memiliki moralitas antikorupsi,
antikolusi dan antinepotisme (Anti-
KKN).
Daftar pustaka
v http://whjobs.info/character-building.html
v
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010…
v http://loudy92.wordpress.com/2011/03/12/pengertian-moral/
v http://www.staipi-garut.ac.id/karya-ilmiah-top/karya-ilmiah-dosen-top/105-cegah-korupsi-dengan-character-building.html
v http://umihany.blogspot.com/
v http://edukasi.kompasiana.com/2011/11/13/character-building-modal-dasar-nation-building/
v http://www.harismedia.net/2011/04/pendidikan-akhlak-dan-character.html
v http://bundakiyara.wordpress.com/2010/08/02/character-building-membentuk-kepribadian-melalui-interaksi-sosial/
v http://www.itb.ac.id/news/939.xhtml
v http://wenilestarisp.blogspot.com/2011/10/membangun-karakter-generasi-muda.html
v http://kem.ami.or.id/2011/10/pendidikan-karakter-untuk-murid-sma/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar